Assalamualaikum Wr. Wb., apa kabar semua? Semoga dalam keadaan
sehat ya, pada kesempatan kali ini, kita akan bahas tentang zakat fitrah, penasaran
dengan artikelnya, simak ya...
A. Pengertian Zakat Fitrah
Kata zakat secara etimologi (asal kata)
berarti suci, berkembang dan barokah. Beberapa arti ini memang sangat
sesuai dengan hikmah zakat dalam kehidupan, zakat berarti suci karena
zakat dapat mensucikan pemilik harta dari sifat kikir, tamak
dan bakhil. Zakat diartikan berkah karena
akan memberikan keberkahan dalam harta dan kehidupan seseorang.
Zakat menurut
syara’ ialah pemberian yang
wajib diberikan dari sekumpulan harta
tertentu, pada waktu tertentu kepada golongan tertentu
yang berhak menerimanya.
Dalam al-Fiqh al-Islami Adilatuh karya Wahbah
al-Zuhayly memaparkan definisi zakat yang berbeda dari empat madzhab,
namun dari definisi para imam madzhab memiliki esensi yang tetap sama.
- Madzhab Maliki, dalam madzhab Maliki
zakat adalah mengeluarkan sebagian yang khusus
dari harta yang khusus pula yang
mencapai nishab,kepada orang yang berhak menerimanya, kepemilikan penuh
yang sudah mencapai satu tahun (haul)5 dan bukan barang tambang dan
barang pertanian.
- Madzhab Hanafi, mendefinisikan zakat
dengan “Menjadikan sebagian harta yang khusus (tertentu) dari harta yang
khusus (tertentu) sebagai milik orang yang khusus
(tertentu), yang ditentukan oleh syariat karena
Allah SWT”.
- Madzhab Syafi’i, mengartikan zakat
sebagai sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan
cara yang khusus.
- Madzhab Hambali, zakat ialah hak yang
wajib dikeluarkan dari harta tertentu untuk kelompok tertentu pula.
Meskipun para ulama
mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda akan tetapi
pada prinsipnya tetap sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta
dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan
kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya,
dengan persyaratan tertentu pula.
Dalam Al-Quran ada beberapa istilah yang
digunakan untuk zakat yaitu shadaqah dan infaq.
Shadaqah adalah pemberian dari seorang
muslim secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi waktu dan jumlah ( haul
dan nisab) sebagai Haul mempunyai dua pengertian, pertama ialah
jangka waktu satu tahunsebagai salah satu syarat untuk beberapa
jeniskekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kedua, upacara memperingati
ulang tahun wafatnya seorang tokoh agama Islam dengan menziarahi kuburnya. Jadi
istilah haul yang berhubungan dengan hal di atas
adalah haul dengan pengertian yang pertama (Ensiklopedia
Islam di Indonesia, Jakarta : Departemen Agama R.I, 1993, hlm 356)
kebaikan dengan mengharap
ridha Allah Swt. Infaq adalah memberikan rizki
kepada orang lain berdasarkan ikhlas dan karena Allah Swt.7
Perbedaan antara zakat, shadaqah dan infaq dinilai dari hukum dan
waktu pengeluarannya yaitu bahwa zakat ada batasan dan musiman sedangkan
shadaqah dan infaq diberikan bisa terus menerus tanpa batas bergantung keadaan.
Namun jika di pandang dari segi hukum antara zakat, shadaqah dan infaq berbeda.
Zakat secara umum terbagi menjadi dua bagian.
pertama zakat harta atau biasa disebut zakat mal yaitu
zakat yang dikeluarkan atas harta yang
dimiliki seseorang atau lembaga dengan
syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan secara hukum
syara’. Kedua adalah zakat nafs atau zakat
fitrah yaitu zakat yang diberikan berkenaan dengan telah
selesai mengerjakan puasa.
Zakat fitrah terdiri dari
dua kata, yaitu zakat dan fitrah. Zakat fitrah ialah zakat yang wajib dikeluarkan
setiap muslim disebabkan berakhirnya puasa pada bulan ramadhan. zakat fitrah
hanyalah istilah yang ada di Indonesia dalam menyebut
zakatul fithri, adapun dalam kajian fiqih
klasik zakat fitrah disebut zakatul fithri. Arti al-fithri adalah berbuka
puasa, dengan demikian zakatul fithri adalah zakat yang wajib
dikeluarkan bertepatan dengan hari raya berbuka puasa.
Secara istilah, yang dimaksud zakat fitrah
adalah :
Artinya : “Zakat yang wajib karena
berbukanya di bulan ramadhan”.
Menurut Hasan Ayyub zakat fitrah dan sedekah
fitrah itu mempunyai arti yang sama, karena zakat atau sedekah tersebut
dikeluarkan setelah selesai dari melaksanakan puasa Ramadhan.
B. Dasar Hukum Zakat Fitrah
Dasar hukum mengeluarkan
zakat terdapat dalam nash al-Quran dan Hadist.
Hal ini akan diketahui dengan jelas dan tegas hukum mengeluarkan zakat agar
tidak terjadi penyelewengan atau penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah
ayat 110:
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”
Ayat diatas perintah diwajibkannya
seseorang mengeluarkan zakat untuk membersihkan jiwa dari
kikir, tamak dan bakhil dan membersihkan
jiwa dari orang-orang yang fakir dan miskin agar tidak dengki dan iri
hati.
Zakat fitrah
di syariatkan pada tahun
kedua Hijriyah, yaitu tahun
diwajibkannya puasa bulan Ramadhan. Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan zakat
fitrah adalah hadits Rasulullah SAW:
Artinya :“Diceritakaan
kepada kita Abdullah Ibnu Maslamah Ibnu
Qo’nab dan Qutaibah Ibnu
Said keduanya berkata : diceritakan kepada
kita Malik dan diceritakan kepada kita Yahya Ibnu Yahya berkata : saya telah
membaca dihadapan Malik dari Nafi’, dari Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah SAW
telah mewajiban zakat fitrah dari ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau satu
sha’ gandum kepada orang merdeka dan hamba,
laki-laki dan wanita, dari kalangan kaum muslimin”
Jumhur ulama sepakat bahwasannya zakat fitrah
wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, menurut imam Hanafi zakat fitrah
bersifat wajib karena perintah zakat ditetapkan dengan dalil zanni, begitu juga
imam Maliki, imam Syafi’i dan imam Ahmad mengatakan
bahwa zakat fitrah itu hukumnya wajib.
Namun menurut Ibnu Lubban zakat fitrah adalah sunnah muakkad.
Perintah zakat diturunkan
pada tahun kedua Hijriyah, pada waktu itu
Rasulullah SAW mengutus orang-orang untuk
memungut dan mengumpulkan zakat, kemudian membagikannya
kepada orang-orang yang berhak menerima harta zakat
tersebut. Namun sebelumnya Islam pada masa sebelum Hijriyah atau sebelum
Rasulullah Saw melakukan hijrah sudah menanamkan mental kewajiban menunaikan
zakat sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Rum ayat 38:
Artinya:“Maka
berikanlah kepada Kerabat yang
terdekat akan haknya, demikian (pula)
kepada fakir miskin dan orang- orang yang dalam
perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang
beruntung”.
Ayat ini diturunkan di Makkah yang masih
berbentuk khabariyah (berita) dimana perintah zakat
belum diwajibkan tetapi Islam sudah menanam
mental untuk kewajiban zakat pada Rasulullah dan para sahabatnya.
C. Waktu dan Kadar Zakat Fitrah
Banyak pendapat ulama mengenai waktunya untuk
mengeluarkan zakat fitrah, menurut ulama-ulama dari madzhab Hanafi dan Maliki
mengatakan bahwa zakat fitrah wajib dibayar
begitu matahari terbit pada hari raya Idul
Fitri, sedangkan menurut dari kalangan madzhab Syafi’i dan Ahmad zakat fitrah
wajib dikeluarkan begitu matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan.
Sedangkan batas waktunya zakat fitrah
ditunaikan sebelum berangkat menjalankan sholat Idul Fitri, karena hal
itu biasa dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw. Berdasakan
hadits Ibnu Umar :
Artinya :“Diceritakan
kepada kita Yahya Ibnu Muhammad Ibnu Sakan
diceritakan Muhammad Ibnu Jahdhom diceritakan Ismail Ibnu Ja’far dari Umar Ibnu
Nafi’ dari ayahnya dari Ibnu Umar R.A. berkata Rasulullah mewajibkan zakat
fitrh satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum terhadap hamba dan orang
merdeka, laki-laki dan perampuan dan anak-anak dan dewasa
dari kaum muslimin dan diperintahkannya agar mengeluarkan zakat
fitrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat”.
Berdasarkan hadits ini,
makruh hukumnya mengeluarkan zakat fitrah sesudah
sholat Idul fitri. Selain hadits tadi, juga berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang
menyatakan :
Artinya : Diceritakan kepada kita Mahmud
Ibnu Kholid Ad-Dimsaqi dan Abdullah Ibnu Abdur
Rohman As-Samarkhandi. Keduanya berkata : Marwan menceritakan, Abdullah
berkata : Abu Yazid Al-Khulani bercerita, dan Syekh yang dapat dipercaya
dan ibnu Wahab meriwayatkan darinya, Sayar Ibnu
Abdur Rohman bercerita, Mahmud berkata : benar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
ia berkata: "Rasulullah SAW mewajibkan zakat
fitri untuk mensucikan orang
yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi
orang-orang miskin. Barang siapa membayarkannya sebelum
shalat (Hari Raya) maka itu
adalah zakat (fitri) yang diterima, dan barang siapa membayarkannya
setelah shalat maka itu hanyalah berupa sedekah dari sedekah
(biasa)".
Menurut Hasby Ash-Shidieqy bila dilihat dari
arti dari zakatul fitri (zakat yang diberikan karena berbuka atau selesainya
puasa) dikeluarkan mulai dari terbenam matahari dipetang pada malam hari raya
atau akhir Ramadhan sampai berakhir sembahyang
hari raya, dan jika dikeluarkan
diluar itu maka pemberiannya dianggap sebagai sedekah.
Dalam kadar berapa zakat fitrah
harus dikeluarkan, para ulama sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh
kurang dari 1 sha’, makanan pokok. Akan tetapi Abu Hanifah membolehkan membayar
zakat fitrah dengan ½ sha’. Perbedaan ini dikarenakan
masing-masing dari mereka mempunyai
dasar tersendiri untuk ukuran mengeluarkan zakat fitrah.
D. Orang-Orang yang Wajib
Mengeluarkan Zakat Fitrah
Zakat fitrah wajib bagi kaum muslim, baik
laki-laki, wanita, merdeka maupun hamba sahaya. hal
ini berdasarkan sebuah hadits riwayat Ibnu
Umar yakni :
Artinya:“Diceritakaan kepada
kita Abdullah Ibnu Maslamah Ibnu Qo’nab
dan Qutaibah Ibnu Said
keduanya berkata : diceritakan kepada kita
Malik dan diceritakan kepada kita Yahya Ibnu Yahya berkata : saya
telah membaca dihadapan Malik dari Nafi’, dari Ibn Umar
sesungguhnya Rasulullah SAW telah mewajiban zakat
fitri dari ramadhan sebanyak satu sha’
kurma atau satu sha’ gandum kepada
orang merdeka dan hamba, laki-laki dan
wanita, dari kalangan kaum muslimin”
Selain kewajiban akan zakat fitrah hadits
tersebut juga menyebutkan kadar dan jenis barang yang harus dikeluarkan adalah
1 sha’. Sedangkan jenis harta yang dikeluarkan adalah sesuatu yang
menjadi makanan pokok pada suatu negeri pada umumnya, baik berupa gandum,
beras, kurma serta makanan-makanan lain yang menjadi makanan pokok dari
sebuah negeri.
Menurut Muhammad Jawad
Mughniyah menerangkan lebih jauh lagi. Baligh yaitu
jika mereka (anak-anak) telah berkewajiban shalat, maka zakat pun wajib atas mereka.
Sedangkan bagi orang gila (tidak berakal) disamakan kedudukannya
dengan anak kecil yang tidak mempunyai kewajiban. Meskipun
persamaan keduanya tidak dapat disandarkan pada sebuah dalil yang kuat untuk
menyamakan. Sementara itu, harta diisyaratkan hak penuh
muzaki, yakni harta tersebut benar- benar menjadi tanggung jawab atau hak
milik muzaki secara keseluruhan. Sehingga bila harta
itu masih dalam tangan orang lain, seperti
digadaikan, disewakan, dan harta hutang.
Zakat fitrah diwajibkan bagi seseorang yang
memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a. Islam.
b. Lahir sebelum
terbenamnya matahari pada hari berakhirnya bulan
Ramadhan. Oleh karena itu anak yang lahir sesudah terbenamnya matahari tidak
wajib mengeluarkan zakat fitrah.
c. Mempunyai kelebihan
harta dari keperluan makanan untuk dirinya
sendiri dan untuk yang wajib dinafkahinya, pada malam hari raya dan siang
harinya. Oleh karena itu orang yang tidak mempunyai kelebihan harta tidak wajib
mengeluarkan zakat fitrah.
E. Orang-Orang yang Berhak
Menerima Zakat Fitrah
Dalam pembagian zakat
fitrah, terdapat perbedaan dikalangan ‘ulama tentang
siapa saja yang berhak menerima zakat fitrah. Ada tiga pendapat
yang berbebeda dalam persoalan ini.
Pertama, Pendapat yang
mewajibkan di bagikannya pada asnaf yang delapan
secara merata. Pendapat ini berasal dari golongan Imam Syafi’i, mereka
berpendapat bahwa wajib menyerahkan zakat
fitrah kepada golongan yang tercantum dalam surat At Taubah
ayat 60.
Artinya: Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Ayat tersebut
menisbatkan bahwa kepemilikan
semua zakat oleh kelompok-kelompok itu dinyatakan
dengan pemakaian huruf “lam” yang dipakai untuk menyatakan
kepemilikan, kemudian masing-masing kelompok memiliki
hak yang sama karena di hubungkan dengan huruf “wawu” yang menghubungkan
kesamaan. Oleh karena itu, semua bentuk zakat adalah milik semua kelompok itu,
dengan hak yang sama.
Dalam QS at-Taubah ayat 60 di atas Allah SWT
menyebutkan ada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat. Delapan
golongan tersebut yang dimaksud adalah:
1. Fakir (Al-Fuqara’)
Fakir merupakan kelompok
pertama yang mendapatkan bagian zakat. Fakir berarti orang
melarat yang sengsara dalam hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk
memenuhi penghidupannya.
Menurut imam Hanafi, orang fakir adalah orang
yang mempunyai harta kurang dari nisab,sekalipun dia sehat dan mempunyai
pekerjaan. Menurut Imamiyah dan imam Maliki, orang fakir adalah
orang yang tidak memiliki bekal belanja untuk menghidupi dirinya dan
keluarganya dalam setahun. Sedangkan menurut imam Syafi’i dan imam
Hambali orang fakir adalah orang yang tidak memiliki separoh dari kebutuhannya.
2. Miskin
Miskin ialah orang yang memiliki pekerjaan,
tetapi penghasilannya tidak dapat dipakai untuk memenuhi hajat hidupnya.
Menurut imam Syafi’i, imam Hambali, imam
Malik yang disebut miskin ialah yang mempunyai harta atau penghasilan layak
dalam memenuhi keperluannya dan orang yang menjadi tanggungannya, tapi
tak semuanya tercukupi.
Seperti yang
disebutkan diatas dalam QS at-Taubah
ayat 60 golongan pertama dan kedua adalah fakir dan miskin, ini
menunjukan sasaran zakat adalah hendak menghapus kemiskinan dalam Islam.
Menurut Imamiyah, Hanafi dan Maliki, orang
miskin adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk
dari orang fakir. Menurut Hambali dan
Syafi’i, orang fakir adalah
orang yang keadaan ekonominya lebih
buruk dari pada orang
miskin, karena yang dinamakan fakir adalah
orang yang tidak mempunyai sesuatu atau orang
yang tidak mempunyai separuh dari kebutuhannya, sedangkan orang
miskin ialah orang yang memiliki separuh dari
kebutuhannya. Maka yang separuh lagi dipenuhi dengan zakat.
Menurut mazhab Hanafi,
bahwa golongan mustahik zakat dalam arti fakir dan miskin
yaitu:
1) yang tidak memiliki apa-apa.
2) yang
mempunyai rumah, barang atau perabot
yang tidak berlebih-lebihan.
3) yang memiliki mata uang kurang
dari satu nisab.
4) yang memiliki dari niá¹£ab
selain mata uang, seperti empat ekor unta atau tiga puluh sembilan ekor kambing
yang nilainya tak sampai dua ratus dirham.
3. ‘Amilin (panitia zakat/pengurus zakat)
Amil ialah orang yang diberi tugas untuk
mengumpulkan dan membagikan harta zakat. Pengurus zakat adalah orang-orang yang
melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari pengumpulan sampai kepada
pembagiannya. Para panitia
zakat (amil) mempunyai tugas
dan pekerjaan yang berhubungan dengan pengaturan zakat, di mana mereka harus
mensensus orang-orang yang wajib zakat dan macam zakat yang diwajibkan
padanya serta besar harta yang harus
dikeluarkan oleh muzaki, dan dapat mengetahui siapa saja yang menjadi
mustahik zakat, seperti berapa jumlah mereka, berapa
kebutuhan mereka serta besar biaya yang dapat mencukupi dan
hal-hal lain yang merupakan urusan yang perlu ditangani secara sempurna oleh
para ahli dan petugas serta para pembantunya.
Perhatian al-Qur’an yang dengan tegas
terhadap kelompok ini dan memasukkannya kedalam kelompok
mustahik yang delapan, setelah fakir dan miskin
sebagai sasaran zakat pertama dan utama, menunjukkan
bahwa zakat dalam Islam bukanlah suatu
tugas yang hanya diberikan kepada seseorang. Tetapi juga
merupakan salah satu tugas dari tugas-tugas pemerintah untuk mengaturnya,
dan memberikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Adapun bagian yang diberikan kepada para
'amilin dikategorikan sebagai upah dari kerja yang dilakukannya. Amil
masih diberi zakat meskipun dia termasuk orang kaya, Seorang amil
hendaknya memenuhi syarat
karena merekalah berhubungan pengelolaan zakat
agar zakat sesuai dengan tujuannya, syarat-syarat amil
yaitu:
1) Seorang muslim, seorang amil hendaknya
seorang muslim karena zakat adalah urusan orang muslim. Akan tetapi, menurut
Yusuf Qardhawi urusan tersebut dapat dikecualikan tugas yang tidak
berkaitan dalam pemungutan, pembagian.
Seperti penjagaan gudang dan sopir.
2) Mukallaf, yaitu orang dewasa
yang sehat pikirannya.
3) Jujur (dapat memegang amanah).
4) Memahami hukum-hukum zakat.
Kemampuan untuk melaksanakan tugas.
5) Laki-laki.
6) Merdeka.
4. Muallaf (yang di bujuk hatinya)
Para Muallaf yang dibujuk hatinya adalah
orang-orang dari kaum kafir atau dari kaum muslimin yang diberi zakat bukan
karena dia itu miskin, melainkan supaya orang-orang itu tertarik dengan
Islam. Fuqoha membagi muallaf ini kepada dua golongan :
a. Yang masih kafir.
Pertama, kafir yang diharap akan beriman
dengan diberikan pertolongan, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad Saw
terhadap Shafwan Ibnu Umaiyah, yang dengan pertolongan Nabi Muhammad
Saw memeluk Islam. Kemudian Nabi Muhammad Saw
memberikan 100 ekor unta kepada Shafwan.
Kedua, kafir
yang ditakuti berbuat jahat
kepadanya diberikan hak muallaf untuk menolak kejahatannya. Kata Ibnu
Abbas:”ada segolongan manusia apabila mendapat
pemberian dari Nabi, mereka memuji-muji Islam dan apabila tidak mendapat
pemberian, mereka mencaci maki dan memburukkan Islam.”
b. Yang telah masuk agama Islam.
Pertama, orang yang masih lemah
imannya, yang diharap dengan pemberian itu imannya menjadi teguh.
Kedua, pemuka-pemuka yang
menjadi kerabat yang sebanding dengan dia yang masih kafir.
Ketiga, orang Islam yang berkediaman di
perbatasan agar mereka tetap membela isi negeri dari serangan musuh
Keempat, orang yang diperlukan untuk menarik
zakat dari mereka yang tidak mau mengeluarkannya tanpa
perantaraannya orang tersebut.
Para ulama madzhab berbeda pendapat mengenai
hukum terhadap golongan muallaf, apakah masih berlaku atau sudah di
mansukh. Menurut imam Hanafi hukum ini
berlaku pada masa permulaan Islam, karena lemahnya kaum muslimin. Kalau
dalam situasi saat ini di mana Islam
sudah kuat, maka hilanglah hukumnya karena sebab-sebab tidak
ada.
Berbeda dengan madzhab-madzhab
yang lain mengatakan bahwa hukum muallaf itu tidak di nasakh, sekalipun bagian muallaf diberikan
kepada muslim dan non-muslim dengan syarat bagian zakat itu dapat memberikan
kemaslakhatan umat.
5. Riqab
Riqab adalah budak muslim (al-mukatab) yang
telah membuat perjanjian dengan tuannya yang telah dijanjikan mereka bila telah
melunasi harga dirinya yang telah ditetapkan.
Menurut jumhur ulama bagian ini diserahkan
untuk memerdekakan budak yang telah mengadakan
perjanjian dengan tuannya, kemudian baru untuk
budak biasa. Akan tetapi, berbeda dengan
ulama dari madzhab Maliki. Menurut mereka harta zakat itu berhak untuk
budak secara umum karena mereka tidak membedakan antara budak mukattab dan
budak biasa.
6. Ghorim
Gharim adalah orang yang terhimpit oleh
hutang, demi kebutuhan yang bersifat pribadi atau karena alasan yang bersifat
sosial, sementara tidak ada harta untuk pengembalian hutang tersebut.
Bagian zakat hanya
mereka yang berhutang untuk kemaslahatan diri, bila
mereka sendiri telah fakir atau telah jatuh miskin tak sanggup lagi
membayarnya. Sedangkan jika berhutang karena kemaslahatan umum, maka ia boleh
minta dari bagian ini untuk membayar hutangnya meskipun ia orang kaya.
7. Fi sabilillah
Berdasarkan riwayat yang shahih, yang
dimaksud dengan Fi Sabilillah adalah semua jalan yang mengantarkan kepada Allah
SWT. Termasuk Fi sabilillah ialah para ulama yang bertugas membina kaum
muslimin dalam urusan-urusan agama.
Mereka juga mendapatkan bagian zakat baik kaya maupun miskin.
Menurut pendapat sebagian ulama, fi
sabilillah ialah sukarelawan dalam peperangan, yang pergi maju ke medan perang
dengan tidak mendapatkan gaji. Menurut Ibnu Umar’ jalan Allah adalah mereka
yang pergi mengerjakan haji dan umrah.
8. Ibnu sabil
Ibnu sabil ialah Orang-orang yang
sedang melakukan perjalanan untuk menambah pengetahuan,
pengalaman, persahabatan. Golongan ini berhak menerima zakat, jika
seorang sedang melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat, maka haram baginya
menerima zakat.
Mereka diberi bagian zakat sekedar untuk
memenuhi kebutuhannya, ketika hendak pergi kenegerinya, walaupun dia memiliki
harta. Hukum ini berlaku pula terhadap orang
yang merencanakan perjalanan dari negerinya sedang dia tidak
membawa bekal, maka dia dapat diberi dari harta zakat untuk memenuhi biaya
pergi dan pulangnya.
Kedua, Pendapat yang mengkhususkan kepada
golongan fakir, namun memperkenankan memberikan zakat
fitrah kepada golongan delapan sebagaimana yang
tercantum dalam surat At Taubah. Karena zakat
fitrah juga termasuk zakat, sehingga masuk pada
keumuman zakat, yakni memberikan kepada asnaf delapan. Hal
ini adalah pendapat jumhur ulama.
Ketiga, Pendapat yang
mengkhususkan kepada golongan miskin saja.
Bahwa zakat itu hanyalah
diberikan kepada miskin saja.
pendapat yang mewajibkan pemberian zakat fitrah dikhususkan kepada
orang fakir saja, bukan kepada asnaf lainnya. Pendapat ini merupakan pendapat
Imam Malik, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, didukung oleh Ibnu Quyyim dan
seorang gurunya, yaitu Qosim dan Abu Thalib. Pendapat mereka ini didasarkan
pada hadits dengan berdasarkan sebuah hadits
“zakat fitrah adalah untuk memberi makanan pada orang-orang miskin”.
F. Orang-Orang yang Tidak Berhak
Menerima Zakat Fitrah.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan
diatas bahwa ada delapan golongan yang mendapatkan bagian
zakat. Sedangkan golongan yang tidak mendapat
bagian zakat ada lima golongan, yaitu :
1. Orang kaya dengan harta atau kaya dengan
usaha dan penghasilan. Sabda Rasulullah Saw :
Artinya : “Dari Abdullah Ibnu Umar dari
Nabi Muhammad SAW : Tidak halal bagi
orang kaya dan orang-orang yang
mempunyai kekuatan tenaga mengambil sedekah (zakat).”
2. Keturunan Rasulullah Saw.
Artinya : “Diceritakan Abdullah Ibnu Mu’ad
Al’anbari, Ayahku bercerita, diceritakan Syu’bah dari Muhammad (dia
adalah Ibnu Ziyad) telah mendengar Abu Hurairah berkata :pada suatu hari Hasan
Bin Ali (cucu Rasulullah SAW) telah mengambil sebuah kurma dari kurma zakat,
lantas dimasukkan ke mulutnya. Rasulullah SAW bersabda (kepada cucu
beliau), jijik, jijik, buanglah kurma itu ! tidak tahukan
kamu bahwa kita (keturunan muhammad) tidak boleh
mengambil sedekah (zakat)”
3. Orang dalam tanggungan yang berzakat,
artinya orang yang berzakat tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang
dalam tanggungannya dengan nama fakir atau miskin, sedangkan mereka
mendapat nafkah yang mencukupi.
4. Orang yang tidak beragama Islam.
G. Orang yang Meminta Zakat
Tetapi Bukan Mustahik
Persoalan ini berkaitan dengan kelompok
delapan yang berhak menerima zakat. Jika ada orang yang meminta zakat bagian
zakat, tetapi panitia mengetahui orang itu tidak termasuk salah satu
diantara delapan golongan, maka orang itu tidak
dibolehkan mendapatkan zakat. Dan jika
orang itu diketahui bahwa dia ternyata
memiliki hak untuk mendapatkan zakat maka
dia boleh mendapatkan zakat. Akan tetapi, jika orang itu belum
diketahui identitasnya, orang semacam ini digolongkan menjadi dua macam yaitu
Khafiyyah dan Jaliyyah.
Al-Khaffiy ialah ketidak jelasan kefakiran
dan kemiskinan. Orang yang mengaku fakir
atau miskin tidak perlu
dimintai bukti karena sulit untuk
mengetahui buktinya. Tetapi, jika kemudian diketahui bahwa dia memiliki harta
kekayaan dan mengaku bahwa harta
kekayaannya habis, maka pengakuan itu tidak dapat
diterima kecuali dengan bukti.
Al-Jaliyy (yang sudah jelas kemiskinannya)
digolongkan menjadi dua macam. Pertama, berhak dibayar tidak secara langsung,
tetapi ditunda untuk beberapa waktu yaitu orang yang berperang diajalan Allah
SWT dan orang yang sedang dalam perjalanan
tanpa harus dimintai bukti,
kedua golongan ini dibeerikan zakat atas pengakuannya
dan jika kemudian kedua golongan ini tidak benar atas pengakuannya maka
zakat yang sudah mereka terima harus diminta kembali. Dan kedua, kelompok
yang menerima langsung bagiannya. Kelompok ini adalah kelompok delapan
diluar dua kelompok diatas.
H. Hikmah dan Tujuan di
Syariatkannya Zakat Fitrah
Zakat memiliki hikmah yang demikian besar dan
mulia, baik bagi orang yang berzakat (muzaki) ataupun bagi penerimanya
(mustahik) khususnya dalam zakat fitrah terdapat beberapa
manfaat yang besar, sebagaimana arti zakat yang berarti suci zakat
fitrah berfungsi sebagai mensucikan orang yang telah melakukan kesalahan
seperti perbuatan dan perkataan yang kosong dan keji saat melakukan ibadah
puasa.
Selain hikmah diatas bagi muzaki juga bisa
untuk membersihkan jiwa dari segala penyakit berikut
pengaruh-pengaruhnya. Seperti bakhil, kikir, dan sikap
acuh atas penderitaan yang di alami
oleh orang-orang yang perlu dibantu. Sedangkan manfaat
bagi harta yang dizakati adalah untuk menyucikan harta.
Zakat pada Idul Fitri dapat membantu
mencukupi kebutuhan orang fakir miskin yang hidupnya selalu
menderita karena tidak bisa menikmati apa yang
dirasakan oleh orang-orang kaya pada saat hari raya idul fitri . Kadang kala di
dalam berpuasa orang-orang terjerumus dalam perbuatan dan omongan yang tidak
bermanfaat, padahal dalam berpuasa tidk diizinkan lidahnya, matanya, tangannya,
dan kakinya mengerjakan pekerjaan yang dilarang oleh Allah
SWT dan Rasulullah Saw dan hikmah dari di syariatkannya zakat
fitrah dihari raya untuk agar seluruh umat muslim baik yang kaya dan
miskin merasakan kegimbaraan bersama.
Kesimpulannya hikmah zakat pada umumnya yang
terkandung dalam pensyari’atannya ini adalah:
- Menjaga dan memelihara
harta dari incaran mata dan tangan
para pendosa dan pencuri.
- Zakat merupakan pertolongan bagi
orang-orang fakir dan orang-orang yang sangat memerlukan bantuan.
- Zakat menyucikan jiwa dari penyakit
kikir dan bakhil ia juga melatih seseorang mukmin untuk bersifat pemberi
dan dermawan.
- Zakat diwajibkan
sebagai ungkapan syukur atas nikmat
harta yang telah dititipkan kepada seseorang.
Hikmah di syariatkannya zakat fitrah secara
khusus terdiri dari dua hal:
1) Berhubungan dengan orang yang
berpuasa pada bulan Ramadhan.
2) Berhubungan dengan masyarakat.
Salah satu tujuan terpenting
dalam zakat adalah mempersempit ketimpangan
ekonomi di dalam masyarakat agar
perekonomian di masyarakat dapat adil dan seksama, sehingga yang
kaya tidak semakin kaya dan yang miskin tidak semakin miskin.